Sunday, October 4, 2015

Apakah Semua Orang Jepang Penganut Agama Buddha ?

  Bila membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan agama di Jepang, hampir semuanya menyebutkan bahwa Shinto adalah sebuah agama. Tetapi sampai saat ini, penulis belum pernah bertemu dengan orang Jepang yang mengaku beragama Shinto. Bila ditanya, mereka akan menjawab, "saya beragama Buddha". Pertanyaan ini tentu datangnya dari warga negara asing. Dalam komunikasi sesama warga negara Jepang, menurut saya pertanyaan ini bisa dipastikan tidak pernah ada. lalu pertanyaanya, apakah benar semua orang Jepang memeluk agama Buddha ?
  Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lihat sejarah. Tepatnya pada zaman Edo yang berlangsung pada abad ke 16-18 (1603-1868), Pemerintahan Tokugawa menerbitkan semacam peraturan yang mewajibkan seluruh warga negara Jepang untuk menjadi penganut agama Buddha. Tetapi jangan salah paham dulu, bukan berarti pemerintahan Tokugawa adalah orang-orang yang begitu fanatik terhadap ajaran Buddha. latar belakangnya adalah politik. Tujuan diwajibkannya seluruh warga negara Jepang untuk menjadi penganut agama Budha adalah untuk mencegah masuknya agama Kristen yang dianggap oleh pemerintahan saat itu ajaran yang berbahaya. Sehingga untuk memastikan bahwa tidak ada warga negara Jepang yang memeluk agama Kristen, maka mereka harus melakukan registrasi ke kuil Buddha (Tera) yang terdekat. Registerasi ini akan menjadi identitas diri pada masa itu.
  Lalu, apa yang akan terjadi bila tidak melakukan registerasi ? Akibatnya adalah, mereka tidak akan bisa melakukan registerasi untuk pernikahan, atau mereka tidak akan memperoleh dokumen perjalan jika ingin bertamasha. Fatalnya lagi, mereka yang tidak melakukan registerasi akan dicurigai sebagai penganut agama Kristen. Sudah bisa dipastikan keamanan diri akan terancam. Oleh karena itu,  setiap keluarga melakukan registerasi ke Kuil Buddha terdekat atau Kuil Buddha yang terkenal di daerah tersebut, atau ke kuila Buddha yang dikelola oleh pendeta yang terkenal. Setelah melakukan registerasi, maka warga tersebut sudah resmi menjadi jemaah yang disebut dengan Danka. setiap Danka wajib memberikan sumbangan kepada kuil, terutama pada saat upacara kematian. Pada masa itu, kegiatan kuil lebih banyak berkaitan dengan kematian, seperti menyelenggarakan upacara kematian, kenduri dan sebagainya. Sehingga munculnya kesan bahwa Agama Buddha di Jepang identik dengan Upacara kematian lahir pada masa itu.
  Sistem ini menjadikan Posisi pendeta Buddha perpanjangan tangan dari pemerintah sebagai pelayan publik, atau kalau istilah sekarang sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Padahal seharusnya sebagai pendeta Buddha, pekerjaan mereka adalah berdakwah, mengajak umat menuju pencerahan, atau membantu mereka yang berada dalam kesulitan. Akibatnya, banyak orang yang merasa kesal (dongkol) terhadap Pendeta Budha dan Kuilnya, sehingga vitalitas agama Buddha mulai hilang. Tetapi meskipun demikian, para jemaat tidak bisa berbuat banyak, karena para pendeta sangat dibutuhkan terutama dalam penyelenggaraan upacara kematian.
  Bagi warga negara Jepang saat ini banyak yang tidak mengetahui keluarga mereka penganut sekte apa. Karena bagi mereka hal itu tidaklah terlalu penting. Apalagi bila ditanya apa perbedaan doktrin dari setiap sekte Buddha. Sudah tentu mereka tidak akan mengetahuinnya. Karena mereka sebenarnya tidak pernah mempelajari ajaran Buddha, sampai salah satu dari keluarga mereka meninggal.
   


| Free Bussines? |

No comments:

Post a Comment