Menerima
sesuatu yang baru tentu bukan pekerjaan mudah. Apalagi harus merubah dan
menghilangkan apa yang selama ini menjadi kebiasaan. Contoh sederhananya saja,
membiasakan mandi pagi. Anak saya sekarang berumur 8 tahun. Pertama datang ke
Jepang umur 2,5 tahun. Karena berdomisili di Sendai (musim dingin lebih
panjang), saya tidak membiasakannya mandi pagi. Kebiasaan ini berlangsung terus
hingga umur 7 tahun. Tetapi sejak masuk kelas 2 SD (umur 8 tahun) saya mencoba
membiasakannya untuk mandi pagi. Tentu saja tidak mudah. Dia menentang
habis-habisan, “untuk apa mandi pagi ?, orang Jepang juga ga mandi pagi.” Saya
mencoba memberikan pengertian, misalnya kalau mandi pagi di sekolah tidak
ngantuk, wajah kelihatan lebih segar dan sebagainya. Tetapi, tetap saja dia
tidak menerimanya.
Contoh di atas hanya salah satu hal kecil yang
menggambarkan bagaimana sulitnya merubah sebuah kebiasaan. Apalagi menyangkut
kepercayaan ? tentu akan jauh lebih sulit. Begitulah yang terjadi di Jepang
saat ini. Sebagai seorang muslim, dan melakukan riset tentang kepercayaan
masyarakat Jepang, saya sangat ingin mengetahui mengapa orang Jepang begitu
sulit menerima Islam. Setelah tinggal selama 6 tahun, sedikit demi sedikit
pertanyaan tersebut mulai terjawab.
Sebelum datang ke Jepang pertama kali, saya
membayangkan Jepang adalah sebuah negara maju, penuh dengan gedung-gedung
pencakar langit, masyarakatnya hidup tertib, cara berpikirnya maju dan
sebagainya. Intinya bagi saya Jepang jauh lebih baik dari pada Indonesia, dan
masyarakatnya tentu juga lebih baik dari masyarakat Indonesia, termasuk dalam
kehidupan beragama. Tetapi semua itu sirna begitu saya melihat faktanya. Melihat
kehidupan beragama orang Jepang, saya teringat dengan sejarah lahirnya Islam
dan Nabi Muhammad S.A.W. Islam lahir di tengah-tengah masyarakat Jahiliyah, di
mana mereka menyembah berhala. Ada tuhan ini dan ada tuhan itu. Persis seperti
kepercayaan masyarakat Jepang yang meyakini banyak dewa. Terdapat ribuan kuil
Shinto layaknya penyebaran Mesjid dan Mushalla di Indonesia. Setiap kuil
memiliki dewa yang berbeda-beda. Bagi Orang Jepang ini bukanlah sesuatu yang
aneh. Inilah kepercayaan mereka. Tetapi bagi saya ini sulit dipercaya. Mengapa
orang Jepang yang berpikiran sangat maju, masih menjalankan perilaku keagamaan
seperti orang-orang jahiliyah yang notabenenya hidup puluhan abad yang lalu ?
Ini sangat menarik untuk dikaji. Jika
dihubungkan langsung dengan pertanyaan “mengapa mereka tidak meneria Islam ?”,
barangkali masih bisa ditemukan sedikit jawaban, yaitu karena Masyarakat Jepang
tidak pernah bersentuhan dengan negara-negara Islam akibat isolasi diri, dan
begitu mengenal Islam, mereka menerima imformasi dari media barat yang sudah
terlanjur menilai Islam adalah agama teroris. Untuk alasan ini saya masih bisa
memahami, walaupun masih banyak tanda tanya. Tetapi yang saya herankan mengapa
mereka masih mempraktekkan kehidupan beragama seperti masyarakat Jahiliyah,
padahal mereka sudah setara dengan Amerika dan negara-negara maju lainnya yang
semuanya beragama Kristen ? apalagi kalau melihat sejarah, Misionaris Kristen
sudah masuk ke Jepang beberapa abad yang lalu. Bahkan dari data yang ada dapat
diketahui betapa banyaknya sekolah-sekolah berbasis Kristen di Jepang. Ini sangatlah
mustahil. Tetapi ini adalah fakta. Lembaga-lembaga gereja sudah menghabiskan
banyak uang untuk mendirikan sekolah dan fasilitas lainnya, tetapi orang Jepang
yang beragama Kristen hanyalah 2-3 % saja dari 130 Juta total Penduduk Jepang. Bagaimana
ini bisa terjadi ?
Dari penelusuran saya, Setidaknya ada tiga
hal yang dianggap menjadi penyebabnya masyarakat Jepang sulit menerima Islam
selain fakta sejarah yang saya sebutkan di atas. Ini sekaligus menjawab
pertanyaan mengapa mereka menolak Islam.
(1) Orang
Jepang tidak suka dengan agama yang mempercayai satu tuhan.
Kepercayaan masyarakat Jepang mengenal
banyak dewa. Baik dewa-dewa yang disebutkan dalam mitos (naskah kuno kojiki dan
nihonshoki), maupun dewa-dewa yang diciptakan sendiri oleh orang Jepang yang
berasal dari manusia. Ditambah lagi dengan kepercayaan animism dimana mereka
meyakini seluruh benda-benda yang ada di permukaan bumi, seperti batu besar,
pohon besar, gunung-gunung dan sebagainya memiliki roh yang apabila tidak
dihormati (dipuja dan disembah) akan menimbulkan sesuatu yang tidak baik
terhadap manusia. Selain itu, masih ada kepercayaan terhadap roh nenek moyang
sebagai warisan dari ajaran konfusius. Masyarakat Jepang sudah merasa nyaman
dengan perilaku keagamaan yang mereka praktekkan selama ini. Tahun baru mereka
akan berkunjung ke kuil Shinto, meminta berkat dan keselamatan selama satu
tahun. Pada musim tanam (musim semi) mereka mengadakan ritual meminta agar
hasil panen baik. Pada musim panen (gugur) mereka kembali mengadakan ritual
sebagai ucapan terima kasih kepada para dewa yang telah menjaga tanaman mereka.
Pada waktu obon, mereka melakukan ziarah kubur menyambut kepulangan roh para
nenek moyang, menyantap hidangan khusus, dan sebagainya. Oleh karena itu,
mereka akan sangat sulit menerima sebuah kepercayaan yang meyakini satu tuhan
seperti Islam. Mereka takut akan kutukan dari leluhur karena tidak mengurusi
kuburan, tidak memberikan sesembahan dan sebagainya. Menurut saya ketakutan
mereka ini disebabkan karena mereka sama sekali tidak memahami Islam. Mereka
berpikir memeluk agama Islam hanya jasad atau ruh saja. Padahal memeluk islam
artinya harus secara kaffah atau total. Mereka tidak tahu bahwa ketika
seseorang memutuskan memeluk agama Islam, mereka akam kembali ke titik Nol, mereka
akan memulai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan dari Nol. Mereka
tidak akan terhubung dengan masa lalu (kepercayaan sebelumnya). Mereka tidak
perlu lagi mengurusi kuburan seperti sebelumnya. mereka tidak perlu
menkhawatirkan kutukan dari leluhur. Mereka akan hidup dengan kepercayaan dan suasana
yang baru. Hidup dalam komunitas yang baru. Hidup dengan aturan yang baru yang
berorientasi pada masa depan (kehidupan setelah mati). Mereka akan diterima di
mana saja ada komunitas Islam. Mereka bisa sholat di mesjid manapun. Karena
islam sama di mana saja.
(2) Orang
Jepang tidak suka diatur oleh Syariat Agama
Kalau kita
melihat perilaku beragama orang Jepang, baik orang biasa maupun pendeta Buddha
atau Shinto, mereka tidak diwajibkan melakukan harus menjalankan ibadah seperti
sholat 5 waktu, puasa, dan sebagainya. Mereka akan pergi ke kuil (Shinto) pada
saat-saat tertentu saja. Atau dengan Bahasa yang lebih sederhana, mereka pergi
ke kuil sesuka hati. Artinya, jikalau butuh mereka akan pergi ke kuil. Sehingga
mereka tidak akan bersedia melakukan kewajiban-kewajiban seperti dalam agama
Islam. Hal ini juga berlaku pada pendeta Buddha misalnya. Seharusnya seorang
pendeta Buddha harus melakukan pertapaan di gunung tertentu dan ritual lainnya,
sehingga mereka mendapatkan predikat seorang biksu. Mereka tidak boleh memakan
daging sapi. Tidak boleh menikah. Tetapi semua dilanggar oleh pendeta Buddha
Jepang. Akibatnya, pendeta Buddha dari Thailand tidak bersedia masuk dan
beribadah di kuil Buddha Jepang. Mereka menganggap Buddha Jepang bukanlah agama
Buddha. Sehingga tidak heran mereka akan muntah bila mendengar islam harus
sholat 5 waktu satu hari, harus puasa selama satu bulan penuh, tidak memakan
daging babi, daging yang tidak disembelih secara islam, tidak minum alkohol dan
sebagainya.
(3), Orang Jepang menerima imformasi tentang
Islam dari negara barat, bukan dari negara-negara Islam.
Sejarah memang
mencatat, Jepang adalah salah satu negara yang tidak pernah di jajah. Mereka seolah-olah
memiliki dunia sendiri. Selama lebih dari 250 tahun mereka menutup diri dari
pengaruh luar. Salah satu alasannya adalah guna menjaga system yang ada dari
pengaruh luar, terutama pengaruh Kristen. Akibatnya mereka tidak bersentuhan
dengan negara lain, terutama negara-negara timur tengah. Setelah restorasi
Meiji, Jepang membuka mata dan mereka terkejut melihat negara-negara barat jauh
lebih maju. Akhirnya mereka berusaha mengejar ketertinggalan dengan cara
mengirimkan banyak pelajar ke Barat untuk menimba Ilmu dan pulang untuk
memajukan Jepang. oleh karena sejak awal mereka menganggap Barat adalah dunia
yang maju, sehingga mereka percaya apapun imformasi dari barat adalah akurat. Termasuk
imformasi tentang Islam yang umumnya mereka peroleh dari Amerika. Sudah sama
kita ketahui Amerika sangat alergi dengan Islam. Mereka berusaha melemahkan
islam melalui media. Sehingga banyak kebohongan-kebohongan yang mereka suarakan
dan itu diterima bulat-bulat oleh Amerika, tanpa menelusuri kebenarannya. Akibatnya
Jepang ikut-ikutan alergi terhadap Islam.
Fakta diatas sangatlah ironis mengingat
Jepang selalu mengaumkan slogan globalisasi. Menurut saya globalisasi yang dimaksud
oleh Jepang adalah penguasaan Bahasa Inggris. Padahal ruang lingkup globalisasi
bukan hanya Bahasa Inggris semata, tetapi bagaimana upaya untuk dapat bergaul
dengan mereka yang datang dari berbagai negara di dunia, termasuk negara-negara
Islam, atau negara berpenduduk mayoritas Islam seperti Indonesia. salah satunya
harus mempelajari Islam.
No comments:
Post a Comment