Sebenarnya rada malas kalau harus membahas yang namanya agama. Entah mengapa, orang begitu sensitive begitu mendengar isu seputar agama. Kalau dipikir-pikir, apa sih salahnya agama ? hmm… mulai sensi nih. Jadi baiknya ga usah dilanjutin. Lebih baik kita melihat sebuah fenomena unik seputar agama di Jepang.
Dahulu kala,
sebelum mengenal lebih jauh tentang Jepang, saya mendengar cerita dari orang-orang
tua bahwa orang Jepang itu menyembah matahari. Waktu itu saya membayangkan
orang Jepang itu akan menghadap ke arah matahari terbit, lalu bersujud layaknya
seorang muslim bersujud ketika menunaikan sholat. Tentu saja itu salah besar,
karena itu adalah imajinasi saya saat itu yang masih sangat dangkal.
Setelah dua
dekade berlalu sejak mendengar cerita di atas, saya mendengar cerita lain
tentang orang Jepang. Cerita ini saya dapatkan di bangku kuliah. Katanya orang
Jepang itu tidak punya agama. Ketika lahir mereka akan di bawa ke kuil Shinto,
setelah beranjak dewasa dan menikah, mereka akan melangsungkan pernikahan di
gereja. Setelah meninggal, mereka akan dimakamkan secara Buddha. Waktu itu
sangat sulit bagi saya membayangkan orang Jepang tidak memiliki agama. Lalu saya
mengidentikkan orang yang tidak memiliki agama dengan ateis. Tentu saja ini
juga salah besar.
Perlahan-lahan,
misteri “apakah orang Jepang memiliki agama atau tidak, apakah tidak memiliki
agama itu identik dengan ateis” ? mulai terkuak. Ini tentu tidak mudah, perlu
waktu beberapa tahun untuk dapat sedikit menguak misteri tersebut.
Untuk menemukan
jawaban dari dua pertanyaan di atas, saya mendatangi satu tempat yang sangat
familiar di kalangan orang Jepang. Ya, Jinja. Jinja adalah tempat beribadah
penganut kepercayaan Shinto. Sama seperti halnya mesjid di Indonesia, jinja ini
akan dengan sangat mudah dijumpai di Jepang. Jinja ada di antara rumah
penduduk, di antara gedung pencakar langit, di pusat perbelanjaan, di atas
bangunan bertingkat, bahkan ada di dalam rumah setiap orang Jepang dalam bentuk
replika. Dari segi ukuran, jinja ada yang berukuran kecil, dan ada juga yang
berukuran besar. Yah, lebih kurang sama seperti mushalla (langgar, surau) yang
relative berukuran kecil, dan mesjid yang berukuran lebih besar. Istilah yang
digunakan juga berbeda. Yang berukuran kecil disebut juga dengan hokora, yashiro,
sedangkan yang berukuran besar disebut jinja.
Untuk sementara
penjelasan tentang Jinja saya cukupkan sampai di situ. Karena perlu satu bab
khusus untuk menjelaskannya secara lebih rinci. Hanya saja perlu saya tambahkan
sedikit lagi, karena menyangkut kelanjutan cerita ini.
Bila di dalam agama Islam ada ustad atau
ustazah, di dalam agama Kristen ada Pendeta, maka di dalam kepercayaan Shinto
ada Shinshoku atau Kannushi. Salah satu tugas Kannushi adalah memberikan
pelayanan kepada penganut kepercayaan Shinto ketika mengunjungi jinja, terutama
mereka yang ingin meminta doa khusus, seperti keselamatan diri dan keluarga,
kelancaran usaha, kelulusan, dan sebagainya. Jinja yang berukuran besar
biasanya memiliki beberapa orang Kannushi. Karena Kannushi adalah sebuah
profesi, maka mereka juga memiliki jam kerja, layaknya karyawan di sebuah
perusahaan.
Pada hari-hari biasa, Jinja akan terlihat sepi
(kecuali Jinja yang mempunyai reputasi bagus dan dikenal). Hanya penduduk
setempat yang datang berkunjung dan berdoa. Ada yang datang sendiri, ada pula
yang datang bersama keluarga. Orang-orang seperti mereka ini biasanya tidak
membutuhkan pelayanan dari kannushi. Tetapi tidak jarang ada pula pengunjung
yang datang dari jauh. Umumnya mereka datang berkelompok. Dalam Bahasa jepang
kelompok ini disebut dengan kou. Kalau dalam Islam barangkali sama dengan
kelompok pengajian. Bedanya kou ini bisanya beranggotakan perempuan saja. Jadi hampir
sama dengan kelompok pengajian ibu-ibu.
Berbeda dengan pengunjung yang datang
sendiri-sendiri, mereka yang datang dengan kelompok biasanya memiliki tujuan
khusus. Untuk itu mereka langsung dilayani oleh Kannushi. Tentu saja, pelayanan
kannushi ini tidak gratis, alias berbayar. Sebenarnya layanan seperti ini tidak
ditujukan kepada kelompok saja, tetapi juga kepada personal. Umumnya mereka
meminta doa-doa khusus seperti : terhindar dari penyakit, terhindar dari
kecelakaan, keselamatan diri dan keluarga, dan sebagainya seperti sudah
disebutkan di atas.
Dalam satu tahun aktivitas di jinja akan
terlihat sangat sibuk pada tahun baru. Kesibukan sudah dimulai pada 31
Desember. Bahkan jauh sebelum itu, dimana para kannushi dan mereka yang bekerja
di jinja sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan pada saat tahun
baru seperti jimat dan pernak pernik tahun baru lainnya.
Pada malam tahun baru, para penduduk
berbondong-bondong datang ke jinja setempat. Jinja berukuran besar biasanya
meminta pihak kepolisian untuk mengatur lancarnya ritual kunjungan di awal
tahun (hatsumode), selain para satpam yang bekerja sehari-hari. Halaman Jinja
akan penuh sehinga pihak jinja kadang-kadang memberlakukan system satu pintu
untuk masuk dan satu pintu lagi untuk keluar. Pengunjung yang datang hanya
boleh melewati pintu masuk. Akibatnya akan terjadi antrian yang sangat panjang.
Puncaknya adalah tepat pada saat pergantian tahun, sekitar jam 11-12 tengah
malam. Antrian akan terus berlangsung hingga pagi hari. Untuk menghindari
antrian panjang, tidak jarang pengunjung memilih datang pada jam-jam dimana
pengunjung tidak terlalu padat, misalnya sebelum jam 11 malam. Atau keesokkan
harinya.
Kunjungan di awal tahun baru (hatsumode)
adalah ritual keagamaan yang hampir diikuti semua orang jepang. Ritual ini
sangat penting mengawali tahun tersebut. Doa-doa dipanjatkan dengan khusuk kepada
dewa-dewa agar mereka mendapatkan keberuntungan di tahun tersebut. Jimat yang
sudah lama harus diganti dengan jimat baru. Begitu juga dengan pernak-pernik
lainnya. Tujuannya tidak lain adalah agar mendapat perlindungan dari para dewa.
Setelah melihat aktivitas di Jinja, saya mulai
sedikit mengert bahwa : ternyata orang Jepang tidaklah menyembah matahari. Barangkali
yang ada di dalam cerita orang-orang dulu itu adalah adanya dewa matahari yang
merupakan dewa terhormat di antara sekian banyak dewa-dewa dalam kepercayaan
Shinto. Ternyata orang Jepang bukanlah ateis. Sebaliknya mereka sangat percaya
kepada dewa-dewa. Mereka juga memanjatkan doa kepada dewa-dewa agar apa yang
diharapkan akan terkabul. Ternyata orang Jepang juga punya agama. Hanya saja,
defenisi agama bagi orang Jepang berbeda dengan orang asing lainnya, termasuk
Indonesia. Terlepas adanya perbedaan defenisi agama, yang pasti orang Jepang
memiliki kepercayaan kepada tuhan (dewa). Kepercayaan ini sudah berlangsung
turun temurun. Kepercayaan-kepercayaan itu tumbuh begitu subur, layaknya jamur
yang tumbuh setelah musim hujan.
Bersambung....
Bersambung....
No comments:
Post a Comment