Monday, July 21, 2014

Orang Jepang Beneran tidak Punya Agama ?



Sebenarnya rada malas kalau harus membahas yang namanya agama. Entah mengapa, orang begitu sensitive begitu mendengar isu seputar agama. Kalau dipikir-pikir, apa sih salahnya agama ? hmm… mulai sensi nih. Jadi baiknya ga usah dilanjutin. Lebih baik kita melihat sebuah fenomena unik seputar agama di Jepang.
Dahulu kala, sebelum mengenal lebih jauh tentang Jepang, saya mendengar cerita dari orang-orang tua bahwa orang Jepang itu menyembah matahari. Waktu itu saya membayangkan orang Jepang itu akan menghadap ke arah matahari terbit, lalu bersujud layaknya seorang muslim bersujud ketika menunaikan sholat. Tentu saja itu salah besar, karena itu adalah imajinasi saya saat itu yang masih sangat dangkal.
Setelah dua dekade berlalu sejak mendengar cerita di atas, saya mendengar cerita lain tentang orang Jepang. Cerita ini saya dapatkan di bangku kuliah. Katanya orang Jepang itu tidak punya agama. Ketika lahir mereka akan di bawa ke kuil Shinto, setelah beranjak dewasa dan menikah, mereka akan melangsungkan pernikahan di gereja. Setelah meninggal, mereka akan dimakamkan secara Buddha. Waktu itu sangat sulit bagi saya membayangkan orang Jepang tidak memiliki agama. Lalu saya mengidentikkan orang yang tidak memiliki agama dengan ateis. Tentu saja ini juga salah besar.
Perlahan-lahan, misteri “apakah orang Jepang memiliki agama atau tidak, apakah tidak memiliki agama itu identik dengan ateis” ? mulai terkuak. Ini tentu tidak mudah, perlu waktu beberapa tahun untuk dapat sedikit menguak misteri tersebut.
Untuk menemukan jawaban dari dua pertanyaan di atas, saya mendatangi satu tempat yang sangat familiar di kalangan orang Jepang. Ya, Jinja. Jinja adalah tempat beribadah penganut kepercayaan Shinto. Sama seperti halnya mesjid di Indonesia, jinja ini akan dengan sangat mudah dijumpai di Jepang. Jinja ada di antara rumah penduduk, di antara gedung pencakar langit, di pusat perbelanjaan, di atas bangunan bertingkat, bahkan ada di dalam rumah setiap orang Jepang dalam bentuk replika. Dari segi ukuran, jinja ada yang berukuran kecil, dan ada juga yang berukuran besar. Yah, lebih kurang sama seperti mushalla (langgar, surau) yang relative berukuran kecil, dan mesjid yang berukuran lebih besar. Istilah yang digunakan juga berbeda. Yang berukuran kecil disebut juga dengan hokora, yashiro, sedangkan yang berukuran besar disebut jinja.
Untuk sementara penjelasan tentang Jinja saya cukupkan sampai di situ. Karena perlu satu bab khusus untuk menjelaskannya secara lebih rinci. Hanya saja perlu saya tambahkan sedikit lagi, karena menyangkut kelanjutan cerita ini.
 Bila di dalam agama Islam ada ustad atau ustazah, di dalam agama Kristen ada Pendeta, maka di dalam kepercayaan Shinto ada Shinshoku atau Kannushi. Salah satu tugas Kannushi adalah memberikan pelayanan kepada penganut kepercayaan Shinto ketika mengunjungi jinja, terutama mereka yang ingin meminta doa khusus, seperti keselamatan diri dan keluarga, kelancaran usaha, kelulusan, dan sebagainya. Jinja yang berukuran besar biasanya memiliki beberapa orang Kannushi. Karena Kannushi adalah sebuah profesi, maka mereka juga memiliki jam kerja, layaknya karyawan di sebuah perusahaan.
 Pada hari-hari biasa, Jinja akan terlihat sepi (kecuali Jinja yang mempunyai reputasi bagus dan dikenal). Hanya penduduk setempat yang datang berkunjung dan berdoa. Ada yang datang sendiri, ada pula yang datang bersama keluarga. Orang-orang seperti mereka ini biasanya tidak membutuhkan pelayanan dari kannushi. Tetapi tidak jarang ada pula pengunjung yang datang dari jauh. Umumnya mereka datang berkelompok. Dalam Bahasa jepang kelompok ini disebut dengan kou. Kalau dalam Islam barangkali sama dengan kelompok pengajian. Bedanya kou ini bisanya beranggotakan perempuan saja. Jadi hampir sama dengan kelompok pengajian ibu-ibu.
 Berbeda dengan pengunjung yang datang sendiri-sendiri, mereka yang datang dengan kelompok biasanya memiliki tujuan khusus. Untuk itu mereka langsung dilayani oleh Kannushi. Tentu saja, pelayanan kannushi ini tidak gratis, alias berbayar. Sebenarnya layanan seperti ini tidak ditujukan kepada kelompok saja, tetapi juga kepada personal. Umumnya mereka meminta doa-doa khusus seperti : terhindar dari penyakit, terhindar dari kecelakaan, keselamatan diri dan keluarga, dan sebagainya seperti sudah disebutkan di atas.
 Dalam satu tahun aktivitas di jinja akan terlihat sangat sibuk pada tahun baru. Kesibukan sudah dimulai pada 31 Desember. Bahkan jauh sebelum itu, dimana para kannushi dan mereka yang bekerja di jinja sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan pada saat tahun baru seperti jimat dan pernak pernik tahun baru lainnya.
 Pada malam tahun baru, para penduduk berbondong-bondong datang ke jinja setempat. Jinja berukuran besar biasanya meminta pihak kepolisian untuk mengatur lancarnya ritual kunjungan di awal tahun (hatsumode), selain para satpam yang bekerja sehari-hari. Halaman Jinja akan penuh sehinga pihak jinja kadang-kadang memberlakukan system satu pintu untuk masuk dan satu pintu lagi untuk keluar. Pengunjung yang datang hanya boleh melewati pintu masuk. Akibatnya akan terjadi antrian yang sangat panjang. Puncaknya adalah tepat pada saat pergantian tahun, sekitar jam 11-12 tengah malam. Antrian akan terus berlangsung hingga pagi hari. Untuk menghindari antrian panjang, tidak jarang pengunjung memilih datang pada jam-jam dimana pengunjung tidak terlalu padat, misalnya sebelum jam 11 malam. Atau keesokkan harinya.
 Kunjungan di awal tahun baru (hatsumode) adalah ritual keagamaan yang hampir diikuti semua orang jepang. Ritual ini sangat penting mengawali tahun tersebut. Doa-doa dipanjatkan dengan khusuk kepada dewa-dewa agar mereka mendapatkan keberuntungan di tahun tersebut. Jimat yang sudah lama harus diganti dengan jimat baru. Begitu juga dengan pernak-pernik lainnya. Tujuannya tidak lain adalah agar mendapat perlindungan dari para dewa.
 Setelah melihat aktivitas di Jinja, saya mulai sedikit mengert bahwa : ternyata orang Jepang tidaklah menyembah matahari. Barangkali yang ada di dalam cerita orang-orang dulu itu adalah adanya dewa matahari yang merupakan dewa terhormat di antara sekian banyak dewa-dewa dalam kepercayaan Shinto. Ternyata orang Jepang bukanlah ateis. Sebaliknya mereka sangat percaya kepada dewa-dewa. Mereka juga memanjatkan doa kepada dewa-dewa agar apa yang diharapkan akan terkabul. Ternyata orang Jepang juga punya agama. Hanya saja, defenisi agama bagi orang Jepang berbeda dengan orang asing lainnya, termasuk Indonesia. Terlepas adanya perbedaan defenisi agama, yang pasti orang Jepang memiliki kepercayaan kepada tuhan (dewa). Kepercayaan ini sudah berlangsung turun temurun. Kepercayaan-kepercayaan itu tumbuh begitu subur, layaknya jamur yang tumbuh setelah musim hujan.

Bersambung....

| Free Bussines? |

No comments:

Post a Comment