Saturday, October 10, 2015

Nikmatilah Masa Mudamu sebelum Datang Masa Tuamu



   Sebagai orang tua saya terkadang tidak sabar dan tidak berusaha memahami psikologi anak pada saat dia melakukan hal-hal yang saya anggap tidak sesuai. Saya sering memberikan penilaian dari sudut pandang orang dewasa. Saya lupa kalau anak saya masih berusia 8 tahun, belum sepenuhnya bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, lebih suka bermain. Sehingga Saya sering memberikan teguran (memarahi) bila dia melakukan sesuatu yang saya anggap salah. Misalnya, lupa membawa pulang PR sekolah, tempat bekal (bento), dan perlengkapan sekolah lainnya. Tetapi, tidak jarang juga setelah itu saya menyesal, dan meminta maaf karena telah memberikan penilaian dengan standar orang dewasa. Saya teringat dengan kata-kata guru Bahasa Indonesia di SMA dulu, “Saya menilai hasil ujian siswa bukan dari sudut pandang seorang guru, tetapi dari sudut pandang seorang siswa. Karena kalau saya menilai dari sudut pandang seorang guru, maka tidak ada jawaban siswa yang benar. Semuanya pasti salah.” Oleh karena itu guru Bahasa Indonesia tersebut tidak pernah memberi siswanya nilai di bawah standar. Sekarang saya berusaha sebisa mungkin untuk bisa memahami psikologi anak sebelum memutuskan untuk memarahi atau cukup memberikan teguran ringan.
  Ada satu alasan kuat mengapa saya berbuat demikian. Ini juga masih ada kaitannya dengan anak. Sejak anak kedua lahir dan mulai bisa berjalan, suasana di dalam rumah sedikit berubah. Kalau biasanya lebih sering terdengar suara tangisan, sekarang ditambah dengan suara tertawa karena sudah bisa bermain. Kalau biasanya hanya bisa merangkak, sekarang sudah mulai bisa berjalan bahkan berlari. Sehingga suara hentakan kaki mereka membuat tetangga yang tinggal tepat di bawah kami merasa tidak nyaman. Kalau sudah demikian, biasanya mereka memberikan peringatan dengan cara memukul lantai kamar kami dari bawah.
  Jauh sebelum itu, pernah sebuah kesalahan kami lakukan. Pada waktu membersihkan beranda kamar, tiba-tiba brush pembersih lantai jatuh ke halaman tentangga di bawah. Saya segera turun untuk meminta maaf sekaligus ingin mengambil brush tersebut. Tetapi setelah saya bel dan ketuk pintunya berkali-kali dan tidak ada jawaban, saya memutuskan kembali. Saya mulai sadar ini adalah gaya hidup bertetangga di negara yang katanya sudah sangat maju.
  Puncaknya, terjadi beberapa bulan lalu. Saya melakukan kembali sebuah kesalahan. Ketika akan membuang sampah, tiba-tiba botol saus tomat yang sudah dipakai terjatuh ke halaman tetangga yang sama. Sepertinya kali ini mereka benar-benar marah. Hal itu terlihat dari cara mereka memberikan teguran. Mereka melemparkan kembali botol tersebut ke atas, yaitu ke beranda. Tetapi ada yang menarik, botol tersebut tidak sendirian. Pada botol tersebut terikat secarik kertas berisi beberapa peringatan keras. (1) Jangan menjatuhkan barang ke bawah, (2) Jangan Ribut, (3) Tolong anak-anak diberi peringatan supaya tidak membuat suara gaduh. Saya semakin sadar, gaya berkomunikasi masyarakat yang sudah maju seperti ini.
  Sejak saat itu saya mulai berusaha memahami psikologi mereka. Karena saya sedang tinggal di daerah lain, maka saya harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan penduduk setempat. Kertas tersebut tidak saya buang, tetapi saya temple di dinding, sehingga ketika anak-anak saya bermain, tidak lupa saya ingatkan dengan cara menyuruhnya membaca isi kertas tersebut. Alhamdulillah sangat efektif.
Dari pengalaman tersebut saya mencoba menerka-nerka dan mencari jawaban, mengapa gaya berkomunikasi mereka demikian. Kalau berpikir bahwa, karena saya orang asing sudah barang tentu kebiasaanya berbeda, sudah pertanyaan di atas tidak perlu dijawab. Tetapi saya yakin ada alasan mendasar yang menyebabkan pola komunikasi mereka terbentuk seperti ini.
Salah satu unsur yang berperan dalam pembangunan karakter manusia adalah pendidikan. Saya tidak perlu menguraikan panjang lebar, apa manfaat pendidikan. Contoh sederhananya saja, kalau tidak sekolah kita tidak akan bisa membaca dan menulis. Tetapi system pendidikan yang tidak baik juga akan berdampak pada pengguna system tersebut.
Bukan berita baru lagi, kalau di Jepang anak-anak sudah digembleng dan ditempa sejak dini. Sejak SD Para orang tua sudah mengarahkan (Bahasa sopan dari memaksa) anak-anak mereka, dan memberikan gambaran bahwa mereka harus belajar sungguh-sungguh agar bisa melanjutkan masuk ke sekolah terbaik. Setelah pulang sekolah, mereka sudah harus mengikuti les ini dan les itu. Akibatnya mereka tidak punya waktu untuk bermain. Padahal dari bermain mereka akan mempelajari beberapa hal, diantaranya adalah bagaimana cara berkomunikasi, bagaimana cara mengekspresikan apa yang mereka rasakan, seperti rasa senang, rasa marah dan sebagainya. Bermain adalah sarana untuk belajar bersosial dalam komunitas mereka.
Mengapa mereka harus sudah banting tulang sejak dini ? Jawabannya adalah supaya bisa masuk perguruan tinggi terbaik. Salah satunya adalah Universitas Tokyo. Untuk bisa masuk Universitas Tokyo mereka harus bisa masuk SMP dan SMA terbaik terlebih dahulu. Saya sering melihat murid-murid SMP keluar dari tempat les jam sepuluh malam. Pulang ke rumah, mandi, lalu makan dan istirahat. Pagi-pagi mereka harus bangun awal dan pergi ke sekolah. Begitulah gaya hidup mereka. Mereka hampir tidak pernah bersentuhan dengan masyarakat.
   Mengapa harus perguruan tinggi terbaik ? karena hanya lulusan perguruan tinggi terbaiklah yang akan diterima di perusahaan terbaik dan mendapatkan pekerjaan (layak). Ini ibarat setali tiga uang antara perguruan tinggi dengan perusahaan. Perusahaan di Jepang akan memilah-milah dan menempatkan pegawai mereka berdasarkan almamater. Bila si A lulusan Universitas Tokyo, maka dia akan di tempatkan di posisi tertentu. Tetapi bila si A lulusan universitas abal-abal (istilah lain dari universitas yang tidak terkenal), maka dia akan di jadikan buruh kasar. Bahkan mereka diperlakukan secara tidak adil. Ada yang mengatakan mereka diperlakukan seperti layaknya seorang budak (cerita seorang teman yang tidak setuju dengan system seperti itu).
   Bukan rahasia lagi kalau dunia kerja di Jepang dikenal dengan gakubatsu (klik akademis, adanya kelompok yang berasal dari lulusan universitas yang sama). Maksudnya adalah di perusahaan-perusahaan besar tersebar jaringan gakubatsu ini. Mereka hanya menerima pegawai dari lulusan universitas tertentu saja. Misalnya, untuk PNS pusat biasanya dikuasai oleh lulusan Universitas Tokyo. Lalu kemana mereka dari lulusan universitas lain ? mereka terpaksa harus ke daerah. Akibatnya persaingan untuk menjadi PNS di daerah menjadi sangat ketat. Bisa dibayangkan kemana mereka yang lulusan universitas abal-abal tadi ? Sungguh kasihan melihat mereka, sudah matian-matian belajar dan mengorbankan masa kecil, tetapi tidak bisa masuk perguruan tinggi terbaik.
   Bercerita mengenai perguruan tinggi, ada hal yang menarik lainnya yang saya temui. Teman saya mengatakan, orang Jepang masuk perguruan tinggi bukan untuk menuntut ilmu, tetapi untuk mencari pekerjaan. Karena mahasiswa di Jepang sangat disibukkan dengan kegiatan mencari pekerjaan. Umumnya mahasiswa sarjana (S1) hanya belajar selama tiga tahun saja. Tahun ke empat mereka sudah mencari pekerjaan. Kegiatan mencari pekerjaan ini dikenal dengan istilah shukatsu. Sehingga begitu tamat mereka langsung bekerja. Di Jepang penerimaan pegawai atau karyawan perusahaan dilakukan serentak. Begitu juga waktu awal bekerja, yaitu per 1 April. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak bisa tamat tepat waktu ? tidak perlu khawatir, karena hampir semua mahasiswa sarjana akan tamat tepat waktunya. Hal ini sangat berbeda dengan di Indonesia. Seseorang baru bisa mencari pekerjaan setelah tamat kuliah. Kemudian, tidak semua orang dengan mudah bisa tamat tepat waktu. Bahkan ada yang mengatakan, sulitnya masuk perguruan tinggi tidak sesulit keluar dari perguruan tinggi tersebut.
  Nah, mengapa pihak perusahaan bersedia menerima mereka yang belum tentu tamat pada waktunya, dan pihak perguruan tinggi dengan mudah menamatkan mahasiswanya ? jawabannya ada pada perjuangan seseorang hingga bisa masuk ke perguruan tinggi tersebut. Agaknya ini semacam apresiasi terhadap hasil kerja keras mereka. Jadi, boleh dikatakan masa mereka menuntu ilmu hanyalah hingga SMA saja. Begitu sudah masuk ke perguruan tinggi (terbaik), masa depan mereka sudah ditentukan.
   Maka tidaklah heran apabila para orang tua di Jepang berusaha mati-matian agar anak mereka bisa masuk ke perguruan terbaik, walau harus mengorbankan masa kecil dan remaja mereka, yang berakibat kepada kurangnya kemampuan anak-anak mereka dalam berkomunikasi dan bersosialisasi dalam masyarakat.



| Free Bussines? |

No comments:

Post a Comment