Monday, August 25, 2014

Buah Tangan dari Miyatojima


Kali ini penulis ingin bercerita tentang pengalaman selama dua hari, 21-22 Agustus 2014 berada di pulau Miyato, Miyatojima.
Miyatojima adalah sebuah pulau yang terletak di kota Matsushima Timur, prefektur Miyagi. Letaknya persis membelah dua teluk, yakni teluk Matsushima dan teluk Ishinomaki yang merupakan cabang dari teluk Sendai. Menurut keterangan salah seorang staf community center Miyatojima, Sebelum gempa dan tsunami 3.11 lalu, jumlah penduduk Miyatojima sekitar 1.000 orang, tetapi sekarang hanya berjumlah sekitar 500 orang. 
http://miyato.main.jp/
  Berkurangnya jumlah penduduk Miyatojima pasca bencana alam 3.11 bukan karena sebagian penduduknya menjadi korban, tetapi karena mereka lebih memilih pindah ke daerah lain. Jumlah korban jiwa relatif sangat sedikit, tetapi hampir seluruh bangunan yang berada dipinggir pantai semuanya ludes tanpa bekas tersapu gelompang pasang tsunami.
Sepanjang garis pantai menuju Miyatojima sedang dibangun tanggul dengan ketinggian 7.2 meter. Pembangunan tanggul ini tentu dimaksudkan agar jika tsunami datang lagi, tidak terlalu banyak korban. Tanah untuk membangun tanggul tersebut diambil dari tanah perbukitan yang letaknya cukup jauh dari bibir pantai. Agar lebih praktis dan pekerjaan lebih mudah, tanah tersebut tidak diangkut dari bukit ke pantai menggunakan truk, tetapi pemerintah membangun infrastruktur berupa mesin yang dapat mengalirkan tanah tersebut dari gunung ke laut. Infrastruktur tersebut mirip dengan mesin penggilingan padi. Konon pembangunan infrastruktur ini menelan biaya sekitar 700 Juta yen atau sekitar 70 milyar rupiah.
Infrastruktur pembangunan tanggul
 Mata pencaharian masyarakat di Miyatojima adalah melaut dan pariwisata. Hasil laut yang utama adalah hotate (oyster). Di berbagai tempat kita akan menyaksikan tumpukan cangkang hotate yang akan digunakan sebagai sarana pengembangbiakan hotate. Cangkang-cangkang tersebut dirajut lalu di letakkan di dalam laut di areal-areal tertentu. Dalam kurun waktu tertentu hotate akan bertelur dan berkembang biak di cangkang-cangkang tersebut.
Di bidang pariwisata, Miyatojima tidak kalah dengan Matsushima. Salah satu lokasi yang menjadi tujuan wisata terindah adalah sebuah bukit yang disebut dengan Otakaramori. Bukit ini memiliki ketinggian sekitar 100 meter dari permukaan laut. Kabarnya dari bukit ini kita dapat menyaksikan seluruh gugusan pulau yang ada di Matsushima.   
Asyik bercerita, penulis lupa menjelaskan apa tujuan berkunjung ke Miyatojima. Sebenarnya tujuan penulis berkunjung bukanlah untuk menikmati kelezatan hotate, atau menikmati keindahan alamnya, tetapi bekerja sebagai penerjemah untuk mendampingi tiga orang mahasiswa dari Aceh yang sedang melakukan kunjungan ke Miyatojima. Kunjungan ini merupakan balasan atas kunjungan beberapa mahasiswa Jepang yang sebelumnya berkunjung ke Aceh di bawah bendera sebuah NPO.
Kunjungan mahasiswa Aceh terpusat di sekolah dasar (SD) Miyatojima, satu-satunya sekolah yang ada di Miyatojima. Seperti kebanyakn sekolah-sekolah di Jepang, SD Miyatojima juga dijadikan sebagai pusat evakuasi saat bencana alam terjadi. SD ini terletak di atas bukit, sehingga cocok sebagai tempat evakuasi. Pada saat terjadi bencana alam 3.11 yang lalu, hampir seluruh penduduk Miyatojima berhasil selamat setelah menyelamatkan diri menuju SD ini. Bisa dibayangkan sekitar 1000 orang berkumpul dalam satu tempat. Sampai saat ini rumah hunian sementara penduduk korban gempa dan tsunami masih beridiri tegak di halaman sekolah. 
SD Miyatojima
Pasca bencana alam 3.11, jumlah siswa di SD Miyatojima hanya tinggal 28 orang, terdiri dari murid kelas satu sampai kelas enam. Setiap orang yang mengetahui jumlah siswa SD ini tentu akan heran, mengapa bangunan kokoh berlantai tiga ini jumlah muridnya hanya 28 orang ? alasannya adalah karena hampir separuh dari penduduk Miyatojima sudah pindah ke daerah lain.
Kegiatan hari pertama adalah workshop tentang permainan tradisional anak-anak Aceh. Murid-murid SD Miyatojima cukup antusias mengikutinya, meskipun sebenarnya mereka masih dalam suasana liburan musim panas. Tetapi kehadiran mereka di sekolah menunjukkan mereka sangat menghargai tamu yang datang dari jauh.
Yang paling berkesan bagi penulis pada hari pertama ini adalah, sambutan dari penanggung jawab kegiatan ini. Beliau adalah salah seorang guru di SD Miyatojima. Beliau juga ikut rombongan yang sebelumnya melakukan kunjungan ke Aceh. Dari dokumentasi kegiatan selama di Aceh, penulis mengetahui bahwa beliau juga memberikan workshop di sekolah di Aceh. Dalam sambutannya, beliau berpesan kepada murid-muridnya agar mereka mencontoh mahasiswa dari Aceh yang sepuluh tahun lalu menjadi korban gempa dan tsunami. Meskipun demikian, mereka berhasil bangkit dan hari ini jauh-jauh datang ke Miyatojima hanya untuk memberikan dorongan moril untuk murid-murid SD Miyatojima. Dengan penuh semangat beliau menutup sambutannya seraya berkata, kalian siswa SD Miyatojima harus segera bangkit, jadilah murid yang cerdas dan bangunlah kembali tanah kelahiran kalian. Sambutan tersebut membuat perasaan penulis campur aduk, mengingat SD Miyatojima akan ditutup dua tahun lagi, karena muridnya tidak cukup. Anak-anak Miyatojima harus pindah ke sekolah baru yang akan dibangun di luar pulau.
Kunjungan hari kedua masih terpusat di SD Miyatojima. Mahasiswa Aceh diberi kesempatan melihat secara langsung suasana belajar dan bermain anak-anak di dalam kelas dan gedung olah raga. di dalam kelas, mereka berhasil mewawancarai beberapa anak seputar kegiatan belajar, kegiatan sehari-hari, hingga cita-cita di masa depan. Di gedung olah raga, mahasiswa Aceh begitu antusias melihat anak-anak bermain dengan gembira. Sampai akhirnya mereka juga ikut bermain.
Kunjungan hari kedua dilanjutkan ke Museum Historikal Kampung Jomon di Oku-Matsushima. Letaknya tidak terlalu jauh dari lokasi SD Miyatojima. Sehingga dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Kabarnya pada tahun 1918 di bawah tumpukan cangkak oyster ditemukan 14 tulang berulang manusia yang diyakini hidup pada zaman Jomon (16.500 tahun lalu). Mengapa tulang berulang tersebut masih utuh, padahal tanah Jepang dikenal memiliki kadar asam yang tinggi, sehingga tulang manusia diyakini akan menyatu dengan tanah bila sudah berumur lebih dari serratus tahun. Ternyata, ini ada kaitannya dengan cangkang oyster. Setelah diteliti, cangkang oyster memiliki kadar kalsium tinggi. sehingga tulang berulang tersebut masih utuh. Penemuan ini memberikan informasi yang berharga untuk mengetahui lingkungan alam, serta kehidupan masyarakat pada saat itu.
Museum historikal kampung Jomon
Museum ini buka dari jam 9.00~16.30. Biaya tiket masuk untuk satu orang dewasa adalah 400 yen, siswa SMU 300 yen, dan siswa SD dan SMP 150 yen. Beberapa peninggalan zaman sejarah dipamerkan di dalam museum ini. Selain boleh didokumentasikan, salah satu ruangannya dijadikan sebagai tempat pemutaran film dokumenter yang bercerita tentang kehidupan masyarakat pada zaman Jomon. Film ini berdurasi sekitar 15 menit. Film ini gratis ditonton bagi mereka yang telah memiliki tiket masuk.
Selain memajang fosil asli zaman Jomon, terdapat pula beberapa ilustrasi yang menggambarkan kehidupan masyarakat pada zaman tersebut. Dimulai dari kehidupan sehari-hari seperti berburu, menangkap ikan, hingga pemakaman. Dengan ditemukannya tulang berulang manusia yang masih utuh, kita dapat mengetahui bahwa mereka yang meninggal pada saat itu dikubur, dan bukan dikremasi seperti umumnya saat ini. Selain itu terdapat salah satu pajangan berisi tulang berulang bayi asli yang masih berada di dalam sebuah bejana. Berdasarkan informasi dan ilustrasi yang dipajang terpisah, diketahui bahwa dahulu jika orang dewasa yang meninggal maka akan dikubur tanpa peti mati. Sedangkan bila balita yang meninggal maka jenazahnya dimasukkan kedalam wadah yang mirip dengan bejana. Tujuan dimasukkan kedalam bejana adalah agar jenazah merasa nyaman, seolah-olah berada di dalam rahim sang ibu.
Salah satu tulang utuh manusia zaman jomon yang ditemukan
Setelah sempat singgah di community center Miyatojima, dan mendengarkan penjelasan dari salah seorang stafnya tentang kejadian gempa dan tsunami 3.11, serta proses pemulihan pasca bencana, mahasiswa Aceh dan rombongan selanjutnya menuju Discovery Center yang berada di luar pulau Miyatojima.
Di dalam gedung Discovery Center terdapat sebuah bola dunia digital, dalam Bahasa Inggris benda ini disebut “Science On a Sphere”, dan disingkat dengan SOS. SOS ini adalah satu-satunya di Jepang. Sedangkan di dunia berjumlah sekitar 110 buah, yang paling banyak tentu terdapat di Amerika. Di Asia, SOS banyak terdapat di China. Bola dunia digital ini berdiameter 1.8 meter, dilengkapi dengan 4 unit proyektor. Dari bola dunia ini kita dapat melihat bumi, luar angkasa dan bawah laut. Bola dunia ini mempertontonkan betapa manusia telah merusak ekosistem laut karena membuang sampah sembarangan. Juga mempertontonkan simulasi jika kutup utara mencair dan sebagainya. Simulasi ini merujuk pada data tentang global warming milik NOAA (The National Oceanic and Atmospheric Administration), badan induk dari Dinas Udara Amerika Serikat (U.S. Weather Service).
Discovery Center




| Free Bussines? |

2 comments:

  1. Gomenasai.. sensei bolehkah saya meminta alamat E-mail sensei ??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yuyun, Maaf telat reply. Tapi the problem is solved kan ?

      Delete