Wednesday, March 21, 2012

彼岸 HIGAN (Ziarah Kubur)

Pamflet HIGAN di sebuah pusat perbelanjaan di kota Sendai

住めば都, Sumeba Miyako.
“Tempat sesulit apapun bila telah didiami dalam waktu lama akan berubah menjadi kota yang menyenangkan untuk ditempati, bahkan sebaliknya terasa berat untuk meninggalkannya.”
Peribahasa di atas pasti akan dialami oleh setiap orang yang baru mendiami sebuah tempat, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Butuh waktu untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Hal yang sama juga penulis alami saat ini. Setelah beberapa tahun berlalu, segala sesuatu yang pada awalnya asing perlahan mulai terbiasa dan sedikit demi sedikti dapat dipahami.

Pada kesempatan kali ini penulis mengangkat tema tentang 彼岸HIGAN.
HIGAN adalah batas musim, yaitu antara musim dingin dengan musim semi, dan musim panas dengan musim gugur. HIGAN diperingati dua kali dalam satu tahun yaitu : HIGAN musim semi (sekitar 20 Maret, disebut dengan SHUNBUN no HI) dan HIGAN musim Gugur (sekitar 23 September, disebut dengan SHUBUN no HI). HIGAN berlangsung selama 7 hari, yaitu 3 hari sebelum dan sesudah SHUNBUN no HI, 20 Maret (HIGAN musim semi) dan SHUBUN no HI, 23 September (HIGAN musim gugur). Tahun ini (2012) SHUNBUN no HI jatuh pada tanggal 20 Maret, jadi HIGAN musim semi dimulai sejak tanggal 17 Maret dan akan berakhir tanggal 23 Maret. Hari pertama disebut dengan “HIGAN no HAIRI”, Hari pertengahan disebut dengan “CHUUNICHI, dan hari terakhir disebut dengan “HIGAN no AKE”. Hari pertengahan baik pada saat HIGAN musim semi maupun musim gugur dijadikan sebagai hari libur nasional. Tahun ini jatuh pada tanggal 20 Maret dan 23 September 2012. Dalam undang-undang tentang hari libur nasional dijelaskan bahwa SHUNBUN no HI (20 Maret) diperingati sebagai hari “untuk mencintai alam, dan menyayangi hewan”, sedangkan SHUBUN no HI (23 September) diperingati sebagai hari “untuk menghargai leluhur, dan mengenang mereka yang telah meninggal dunia”.

HIGAN disebut sebagai batas musim, karena pada hari SHUNBUN dan SHUBUN matahari akan terbit tepat di sebelah timur dan terbenam tepat di sebelah barat, lama siang dan malam akan sama. Setelah HIGAN musim semi, perlahan-lahan siang akan lebih lama dari pada malam, sedangkan setelah HIGAN musim gugur, perlahan-lahan siang akan lebih singkat dari pada malam.

   HIGAN adalah istilah agama Buddha, berasal dari bahasa sansekerta (bongo) yakni HARAMITA. Sebenarnya istilah yang benar adalah TOHIGAN, artinya pergi meninggalkan dunia fana ini yaitu dunia yang menyesatkan dan tiba di HIGAN tempat menyenangkan yang tidak terdapat kesulitan. Jelas bahwa substansi HIGAN ini dipengaruhi oleh ajaran Buddha, tetapi kepercayaan ini hanya ada di Jepang dan tidak terdapat di negara lain yang menganut agama Buddha.

   Menurut sebuah teori, Asal muasal HIGAN kelihatannya dapat ditelusuri hingga zaman Heian. Pada waktu itu, terjadi pertikaian untuk memperebutkan kekuasaan yang berlarut-larut, dalam masyarakat tersiar kabar yang menyebutkan bahwa pada tahun 1052 ajaran Buddha akan musnah. Para penganut agama Buddha berfikir, bila tidak berbalas di dunia ini, mereka berharap dapat masuk surga setelah mati. Kelihatannya kepercayaan ini awalnya berasal dari kalangan aliran JODOSHU, tetapi karena perang terus berkecamuk, akhirnya kepercayaan ini menyebar ke masayarakat awam.
Dalam ajaran Buddha, terdapat pemikiran bahwa “segala sesuatu sebaiknya sekedarnya saja”. Menurut berbagai sumber HIGAN berasal dari pemikiran ini. Pada SHUNBUN dan SHUBUN, lama siang dan malam akan sama. Kemudian, cuaca juga tidak panas dan juga tidak dingin. Matahari akan tenggelam tepat di arah barat, diyakini pada hari-hari tersebut sangat cocok untuk bermunajat kepada sang Buddha. Lambat laun hari-hari tersebut menyebar dan mengakar dalam kehidupan masyarakat luas sebagai hari untuk mengenang surga, atau hari untuk mengenang leluhur.
  
   BOTAMOCHI dan OHAGI adalah nama makanan pada saat HIGAN. Sebenarnya kedua makanan ini adalah sama yang terbuat dari beras ketan dan selai kacang merah. Tetapi karena waktu mengkonsumsinya berbeda, maka namanya diganti dengan mengibaratkan bunga yang mekar pada masing-masing musim. Untuk sesajen yang dipersembahkan pada HIGAN musim semi ditulis dengan “BOTAMOCHI”, biasanya menggunakan selai kacang merah yang disebut KOSHIAN. Sedangkan, sesajen yang dipersembahkan pada HIGAN musim gugur disebut dengan “OHAGI” yang diibaratkan dengan bunga “HAGI”, dan kacang merah yang digunakan adalah selai kacang merah yang disebut TSUBUAN. Selain itu, sejak dahulu, kacang merah (AZUKI) sudah dikonsumsi karena diyakini bermanfaat untuk mengusir roh jahat, sehingga keyakinan tersebut berlanjut pada pemberian sesajen kepada leluhur.

  Sejak dahulu, pada saat HIGAN terdapat kebiasaan di mana masyarakat Jepang melakukan ziarah ke kuburan untuk mengirimkan doa dengan mempersembahkan sesajen kepada leluhur. Salah satu alasannya adalah bahwa HIGAN ditafsirkan dengan DUNIA SETELAH KEMATIAN, sehingga memiliki makna mengirimkan doa dengan mempersembahkan sesajen untuk almarhum, dan terbentuklah kebiasaan ziarah.
Seorang Ibu yang sedang membersihkan batu nisan makam
  Pada saat OHIGAN ziarah dilakukan bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga. Perlu penulis sampaikan bahwa di Jepang kuburan termasuk warisan leluhur yang akan dikelola oleh anak tertua dalam sebuah keluarga. Satu kuburan bukan untuk satu orang, melainkan untuk satu keluarga (ie). Keluarga yang dimaksudkan di sini bukanlah ayah, ibu dan seluruh anak-anaknya, melainkan hanyalah anak laki-laki pertama saja sebagai ahli waris, sedangkan anak kedua dan seterusnya membuat kuburan sendiri yang nantinya akan diisi oleh anak laki-laki pertamanya sebagai ahli waris, demikian seterusnya.
 Tidak ada tata cara khusus untuk melakukan ziarah. Ziarah dilakukan Biasanya dengan membersihkan batu nisan, sekeliling kuburan, dan mempersembahkan bunga serta dupa. Menyiramkan air, dan memanjatkan doa. Sementara itu, kegiatan di rumah adalah membersihkan altar, mempersembahkan bunga dan buah-buahan pada musim tersebut, Botamochi, Ohagi dan lain-lain untuk leluhur dan menaruhnya pada altar.

Salah satu makam yang telah dibersihakan saat HIGAN
Selain kegiatan di atas, di kuil Buddha (Otera) diselenggarakan Kenduri yang disebut dengan“HIGAN-E”. Para peziarah dapat juga mengikuti jamuan OHIGAN, sekaligus memanjatkan doa untuk leluhur.
  
   Pantauan yang penulis lakukan sejak tanggal 17 Maret 2012 terhadap beberapa areal pemakaman terdekat menunjukkan bahwa adanya peningkatan peziarah yang datang ke kuburan dibanding hari-hari biasa. Mendekati areal pemakaman, penulis mencium aroma dupa menyengat yang dibakar sebagai salah satu sesajen yang dipersembahkan kepada leluhur. Areal pemakaman terlihat lebih bersih, di setiap kuburan dihiasi dengan karangan bunga, serta penuh dengan makanan dan minuman kesukaan almarhum. Biasanya peziarah datang tidak sendirian, melainkan bersama anggota keluarga, kecuali beberapa diantaranya datang sendirian.
Perlu diketahui bahwa, di Jepang hampir keseluruhan areal pemakaman dikelola oleh kuil (otera) Buddha. Hanya sebagian kecil yang dikelola oleh kuil (jinja) Shinto. Hal ini karena masyarakat Jepang meyakini bahwa kematian adalah kekotoran, sehingga urusan kematian akan diserahkan sepenuhnya kepada kuil (otera) Buddha.
   Tidak ada ritual khusus yang dilakukan di areal kuburan, kecuali hanya membersihkan batu nisan, menyiramnya dengan air yang ditaruh di dalam ember yang telah disediakan pihak kuil. setelah selesai membersihkan batu nisan, secara serentak seluruh anggota keluarga memanjatkan doa dengan menyatukan kedua belah tangan di depan dada.

   Demikianlah gambaran kegiatan selama HIGAN yang dilakukan dua kali dalam satu tahun. HIGAN dijadikan sebagai hari libur nasional sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur yang telah dilakukan secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu, meskipun baru diundangkan setelah zaman Meiji.

Dikutip dari berbagai sumber.

| Free Bussines? |

No comments:

Post a Comment