Kali ini penulis ingin bercerita tentang
pengalaman selama dua hari, 21-22 Agustus 2014 berada di pulau Miyato,
Miyatojima.
Miyatojima adalah sebuah pulau yang terletak
di kota Matsushima Timur, prefektur Miyagi. Letaknya persis membelah dua teluk,
yakni teluk Matsushima dan teluk Ishinomaki yang merupakan cabang dari teluk
Sendai. Menurut keterangan salah seorang staf community center Miyatojima, Sebelum
gempa dan tsunami 3.11 lalu, jumlah penduduk Miyatojima sekitar 1.000 orang,
tetapi sekarang hanya berjumlah sekitar 500 orang.
http://miyato.main.jp/ |
Sepanjang garis pantai menuju Miyatojima
sedang dibangun tanggul dengan ketinggian 7.2 meter. Pembangunan tanggul ini
tentu dimaksudkan agar jika tsunami datang lagi, tidak terlalu banyak korban. Tanah
untuk membangun tanggul tersebut diambil dari tanah perbukitan yang letaknya
cukup jauh dari bibir pantai. Agar lebih praktis dan pekerjaan lebih mudah,
tanah tersebut tidak diangkut dari bukit ke pantai menggunakan truk, tetapi
pemerintah membangun infrastruktur berupa mesin yang dapat mengalirkan tanah
tersebut dari gunung ke laut. Infrastruktur tersebut mirip dengan mesin
penggilingan padi. Konon pembangunan infrastruktur ini menelan biaya sekitar 700
Juta yen atau sekitar 70 milyar rupiah.
Infrastruktur pembangunan tanggul |
Mata pencaharian masyarakat di Miyatojima
adalah melaut dan pariwisata. Hasil laut yang utama adalah hotate (oyster). Di
berbagai tempat kita akan menyaksikan tumpukan cangkang hotate yang akan
digunakan sebagai sarana pengembangbiakan hotate. Cangkang-cangkang tersebut
dirajut lalu di letakkan di dalam laut di areal-areal tertentu. Dalam kurun
waktu tertentu hotate akan bertelur dan berkembang biak di cangkang-cangkang
tersebut.
Di bidang pariwisata, Miyatojima tidak kalah
dengan Matsushima. Salah satu lokasi yang menjadi tujuan wisata terindah adalah
sebuah bukit yang disebut dengan Otakaramori. Bukit ini memiliki ketinggian
sekitar 100 meter dari permukaan laut. Kabarnya dari bukit ini kita dapat
menyaksikan seluruh gugusan pulau yang ada di Matsushima.
Asyik bercerita, penulis lupa menjelaskan apa
tujuan berkunjung ke Miyatojima. Sebenarnya tujuan penulis berkunjung bukanlah
untuk menikmati kelezatan hotate, atau menikmati keindahan alamnya, tetapi bekerja
sebagai penerjemah untuk mendampingi tiga orang mahasiswa dari Aceh yang sedang
melakukan kunjungan ke Miyatojima. Kunjungan ini merupakan balasan atas
kunjungan beberapa mahasiswa Jepang yang sebelumnya berkunjung ke Aceh di bawah
bendera sebuah NPO.
Kunjungan mahasiswa Aceh terpusat di sekolah
dasar (SD) Miyatojima, satu-satunya sekolah yang ada di Miyatojima. Seperti
kebanyakn sekolah-sekolah di Jepang, SD Miyatojima juga dijadikan sebagai pusat
evakuasi saat bencana alam terjadi. SD ini terletak di atas bukit, sehingga
cocok sebagai tempat evakuasi. Pada saat terjadi bencana alam 3.11 yang lalu, hampir
seluruh penduduk Miyatojima berhasil selamat setelah menyelamatkan diri menuju
SD ini. Bisa dibayangkan sekitar 1000 orang berkumpul dalam satu tempat. Sampai
saat ini rumah hunian sementara penduduk korban gempa dan tsunami masih
beridiri tegak di halaman sekolah.
SD Miyatojima |
Pasca bencana alam 3.11, jumlah siswa di SD
Miyatojima hanya tinggal 28 orang, terdiri dari murid kelas satu sampai kelas
enam. Setiap orang yang mengetahui jumlah siswa SD ini tentu akan heran,
mengapa bangunan kokoh berlantai tiga ini jumlah muridnya hanya 28 orang ?
alasannya adalah karena hampir separuh dari penduduk Miyatojima sudah pindah ke
daerah lain.
Kegiatan hari pertama adalah workshop tentang
permainan tradisional anak-anak Aceh. Murid-murid SD Miyatojima cukup antusias
mengikutinya, meskipun sebenarnya mereka masih dalam suasana liburan musim
panas. Tetapi kehadiran mereka di sekolah menunjukkan mereka sangat menghargai
tamu yang datang dari jauh.
Yang paling berkesan bagi penulis pada hari
pertama ini adalah, sambutan dari penanggung jawab kegiatan ini. Beliau adalah
salah seorang guru di SD Miyatojima. Beliau juga ikut rombongan yang sebelumnya
melakukan kunjungan ke Aceh. Dari dokumentasi kegiatan selama di Aceh, penulis
mengetahui bahwa beliau juga memberikan workshop di sekolah di Aceh. Dalam
sambutannya, beliau berpesan kepada murid-muridnya agar mereka mencontoh
mahasiswa dari Aceh yang sepuluh tahun lalu menjadi korban gempa dan tsunami. Meskipun
demikian, mereka berhasil bangkit dan hari ini jauh-jauh datang ke Miyatojima
hanya untuk memberikan dorongan moril untuk murid-murid SD Miyatojima. Dengan
penuh semangat beliau menutup sambutannya seraya berkata, kalian siswa SD
Miyatojima harus segera bangkit, jadilah murid yang cerdas dan bangunlah
kembali tanah kelahiran kalian. Sambutan tersebut membuat perasaan penulis
campur aduk, mengingat SD Miyatojima akan ditutup dua tahun lagi, karena
muridnya tidak cukup. Anak-anak Miyatojima harus pindah ke sekolah baru yang
akan dibangun di luar pulau.
Kunjungan hari kedua masih terpusat di SD
Miyatojima. Mahasiswa Aceh diberi kesempatan melihat secara langsung suasana
belajar dan bermain anak-anak di dalam kelas dan gedung olah raga. di dalam
kelas, mereka berhasil mewawancarai beberapa anak seputar kegiatan belajar,
kegiatan sehari-hari, hingga cita-cita di masa depan. Di gedung olah raga, mahasiswa
Aceh begitu antusias melihat anak-anak bermain dengan gembira. Sampai akhirnya mereka
juga ikut bermain.
Kunjungan hari kedua dilanjutkan ke Museum
Historikal Kampung Jomon di Oku-Matsushima. Letaknya tidak terlalu jauh dari
lokasi SD Miyatojima. Sehingga dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Kabarnya pada
tahun 1918 di bawah tumpukan cangkak oyster ditemukan 14 tulang berulang
manusia yang diyakini hidup pada zaman Jomon (16.500 tahun lalu). Mengapa
tulang berulang tersebut masih utuh, padahal tanah Jepang dikenal memiliki
kadar asam yang tinggi, sehingga tulang manusia diyakini akan menyatu dengan
tanah bila sudah berumur lebih dari serratus tahun. Ternyata, ini ada kaitannya
dengan cangkang oyster. Setelah diteliti, cangkang oyster memiliki kadar
kalsium tinggi. sehingga tulang berulang tersebut masih utuh. Penemuan ini
memberikan informasi yang berharga untuk mengetahui lingkungan alam, serta
kehidupan masyarakat pada saat itu.
Museum historikal kampung Jomon |
Museum ini buka dari jam 9.00~16.30. Biaya
tiket masuk untuk satu orang dewasa adalah 400 yen, siswa SMU 300 yen, dan
siswa SD dan SMP 150 yen. Beberapa peninggalan zaman sejarah dipamerkan di
dalam museum ini. Selain boleh didokumentasikan, salah satu ruangannya
dijadikan sebagai tempat pemutaran film dokumenter yang bercerita tentang
kehidupan masyarakat pada zaman Jomon. Film ini berdurasi sekitar 15 menit. Film
ini gratis ditonton bagi mereka yang telah memiliki tiket masuk.
Selain memajang fosil asli zaman Jomon,
terdapat pula beberapa ilustrasi yang menggambarkan kehidupan masyarakat pada
zaman tersebut. Dimulai dari kehidupan sehari-hari seperti berburu, menangkap
ikan, hingga pemakaman. Dengan ditemukannya tulang berulang manusia yang masih
utuh, kita dapat mengetahui bahwa mereka yang meninggal pada saat itu dikubur,
dan bukan dikremasi seperti umumnya saat ini. Selain itu terdapat salah satu
pajangan berisi tulang berulang bayi asli yang masih berada di dalam sebuah
bejana. Berdasarkan informasi dan ilustrasi yang dipajang terpisah, diketahui
bahwa dahulu jika orang dewasa yang meninggal maka akan dikubur tanpa peti
mati. Sedangkan bila balita yang meninggal maka jenazahnya dimasukkan kedalam
wadah yang mirip dengan bejana. Tujuan dimasukkan kedalam bejana adalah agar
jenazah merasa nyaman, seolah-olah berada di dalam rahim sang ibu.
Salah satu tulang utuh manusia zaman jomon yang ditemukan |
Setelah sempat singgah di community center
Miyatojima, dan mendengarkan penjelasan dari salah seorang stafnya tentang
kejadian gempa dan tsunami 3.11, serta proses pemulihan pasca bencana,
mahasiswa Aceh dan rombongan selanjutnya menuju Discovery Center yang berada di
luar pulau Miyatojima.
Di dalam gedung
Discovery Center terdapat sebuah bola dunia digital, dalam Bahasa Inggris benda
ini disebut “Science On a Sphere”, dan disingkat dengan SOS. SOS ini adalah
satu-satunya di Jepang. Sedangkan di dunia berjumlah sekitar 110 buah, yang
paling banyak tentu terdapat di Amerika. Di Asia, SOS banyak terdapat di China.
Bola dunia digital ini berdiameter 1.8 meter, dilengkapi dengan 4 unit
proyektor. Dari bola dunia ini kita dapat melihat bumi, luar angkasa dan bawah
laut. Bola dunia ini mempertontonkan betapa manusia telah merusak ekosistem
laut karena membuang sampah sembarangan. Juga mempertontonkan simulasi jika
kutup utara mencair dan sebagainya. Simulasi ini merujuk pada data tentang
global warming milik NOAA (The National
Oceanic and Atmospheric Administration), badan induk dari Dinas Udara Amerika Serikat (U.S. Weather
Service).
Discovery Center |
Gomenasai.. sensei bolehkah saya meminta alamat E-mail sensei ??
ReplyDeleteYuyun, Maaf telat reply. Tapi the problem is solved kan ?
Delete