Sejak beberapa dekade lalu, bagi masyarakat Jepang Tahun Baru dan Obon merupakan dua peristiwa penting dalam satu tahun. Tahun baru dirayakan di awal tahun sesuai nama perayaannya, sedangkan Obon dirayakan pada 13-16 Agustus.
Cerita tentang tahun baru, baik sebelum perayaan, saat perayaan, ataupun sesudah perayaan sudah pernah penulis singgung pada goresan sebelumnya (lihat artikel lain dalam blog ini). Oleh karena itu, kali ini penulis ingin mengangkat cerita tentang Obon.
Seperti sub judul postingan kali ini, obon merupakan tradisi yang dilakukan dalam rangka menyambut datangnya roh para leluhur yang akan pulang ke rumah. Roh leluhur yang dimaksud di sini adalah roh anggota keluarga yang telah meninggal, termasuk roh anggota keluarga yang baru saja meninggal.
Setiap tahun dirayakan pada 13-16 Agustus, bertepatan dengan libur musim panas bagi mereka yang masih sekolah atau kuliah. Selama perayaan obon, pihak perusahaan juga pada umumnya meliburkan karyawannya. kesempatan ini digunakan oleh mereka yang berdomisili di kota untuk pulang ke kampong halamannya masing-masing dan berkumpul bersama keluarga. Sehingga tidak heran, beberapa hari sebelum dan sesudah obon aktivitas pelayanan publik di sektor tranpsortasi meningkat tajam. Stasiun kereta akan penuh sesak oleh warga yang akan mudik atau kembali dari kampung halamannya masing-masing. Begitu juga terminal bus dalam kota maupun antar kota. Suasana seperti ini persis seperti suasana menjelang dan sesudah lebaran idul fitri di Indonesia.
Rangkaian penyelenggaraan Obon
Mukaebi
Mukaebi, menyalakan api |
Mukaebi ditulis dengan 迎え火, berasal dari dua kata yaitu mukae = menyambut dan hi = api. Jadi mukaebi adalah ritual penyambutan datangnya roh leluhur dengan cara menyalakan api. Api diyakini menjadi penerang bagi roh leluhur yang akan pulang ke rumah anak cucunya. Pada umumnya api dinyalakan di halaman rumah, kuburan, jalan menuju rumah dan sebaginya. Tradisi menyalakan api ini tidak sama di setiap daerah.
Mukaebi berlangsung pada tanggal 13 Agustus, biasanya dilaksanakan pada sore hari. Menurut Yanagita Kunio yang dikenal sebagai pendiri ilmu folklor Jepang, pada awalnya matsuri (perayaan) di Jepang diselenggarakan pada malam hari. Tetapi mukaebi pada saat obon dilaksanakan lebih awal menunjukkan keinginan anak dan cucu agar roh para leluhur segera sampai ke rumah. Ada satu ungkapan yang selalu diutarakan saat obon, “datang lebih awal, pulang lebih lama”. Ungkapan ini merupakan keinginan anak-cucu yang berharap roh para leluhur datang berkunjung lebih awal, berkumpul bersama, menikmati hidangan khusus bersama, tetapi tidak ingin roh tersebut kembali ke alamnya terburu-buru. Mereka berharap roh para leluhur tinggal lebih lama. Di beberapa daerah keinginan seperti ini diwujudkan dengan symbol timun dan terong yang dipajang di altar budha. Timun dibentuk menyerupai kuda, sedangkan terong dibentuk menyerupai sapi. Kuda dan sapi ini dianggap sebagai kendaraan yang digunakan oleh arwah untuk datang dan pulang.
Kuda digunakan sebagai tunggangan untuk datang (pulang ke rumah), menunjukkan kerinduan anak cucu agar arwah leluhur segera datang. Sedangkan Sapi digunakan sebagai tunggangan untuk kembali ke alam lain, menunjukkan keengganan anak cucu melepas kepulangan arwah ke alam lain.
Timun dan Terong sebagai symbol tunggangan roh leluhur |
Ziarah
Inti dari perayaan obon adalah menyelenggarakan ziarah kubur. Setelah seluruh anggota keluarga berkumpul, mereka bersama-sama melakukan ziarah ke kuburan keluarga. Seperti yang kita ketahui bahwa kuburan di Jepang tidak sama dengan yang ada di Indonesia. Bila di Indonesia, satu orang memiliki satu makam, maka di Jepang satu makam digunakan untuk seluruh anggota keluarga.
Ziarah dilakukan dengan membawa peralatan seperti : Dupa, korek api, lampion,bunga, sesajen (buah-buahan, barang-barang kesukaan almarhum).
Selain itu, juga membawa peralatan kebersihan seperti : sikat pencuci, ember, gayung, kain lap dan sebagainya. Ziarah identik dengan membersihkan makam leluhur.
Bagi mereka yang membuat api (mukaebi) di lokasi pemakaman, maka api tersebut diletakkan di depan makam. Selanjutnya api tersebut dipindahkan ke lampion yang didalamnya terdapat lilin. lampion tersebut selanjutnya dibawa pulang ke rumah dan diletakkan di altar Buddha.
Ziarah Kubur |
Setelah melakukan ziarah, biasanya seluruh anggota keluarga berkumpul di rumah keluarga induk/utama (honke), atau keluarga yang dianggap sebagai pewaris untuk makan bersama. Makan bersama ini merupakan salah satu
bentuk rasa syukur yang ditunjukkan kepada leluhur.
Waktu makan bersama ini digunakan untuk berbagi cerita tentang kondisi terkini dari masing-masing keluarga.
Okuribi adalah rangkaian terakhir dari perayaan obon. Ukuribi ditulis dengan 送り火, teridiri dari dua suku kata, okuri = mengantar dan hi = api. Jadi okuribi adalah ritual menyalakan api untuk mengantar roh para leluhur kembali ke alamnya. Berbagai cara dilakukan untuk mengantar roh leluhur ini. Selain hanya menyalakan api dengan cara membakar segala pernak pernik yang digunakan saat obon, ada pula tradiri menghanyutkan lampion di sungai yang dikenal dengan Toro-nagashi.
Tahun ini (2012) penulis menyempatkan diri untuk menyaksikan secara langsung penyelenggaraan Toro-Nagashi di Kawara machi Sendai, Proponsi Miyagi. Di Kawara machi Toro-nagashi diselenggarakan pada 21 Agustus setiap tahun. Penyelenggaraan ritual ini digabung dengan penyelenggaraan pesta kembang api (hanabi taikai). Toro-nagashi ini sudah menjadi salah satu even pariwisata di Sendai.
Penulis datang ke lokasi sekitar jam 5 sore. Pada saat itu para pengunjung sudah mulai berdatangan. Ada yang khusus datang untuk Toro-nagashi, ada pula yang datang untuk menikmati kembang api pada malam harinya. Peralatan untuk Toro-nagashi sudah dipersiapkan oleh panitia. Pengunjung cukup menyediakan uang sekitar 2000-3000 Yen, bergantung dari jenis lamion yang diinginkan. Panitia juga mengundang beberapa biksu (budha) secara khusus untuk mendoakan roh para leluhur tersebut. ada sekitar dua puluh orang Biksu yang hadir pada saat itu. Mereka menempati sebuah tenda khusus di pinggir sungai Hirose. Di dalam tenda tersebut terdapat altar budha. Sedangkan di depan tenda tersebut terdapat sebuah menja yang di atasnya terdapat api beraroma kemenyan.
Berdoa di depan altar budha sebelum menghanyutkan lampion |
Setelah membeli lampion (toro), setiap pengunjung menulis nama lalu menempelkannya pada lampion. Selanjut beranjak menuju tenda yang terdapat altar budha. Mereka memberikan hormat, serta menyatukan kedua belah telapak tangan di dada seraya mengucapkan doa. Setelah itu menuju tempat menghanyutkan lampion tersebut. ada beberapa staf panitia yang bertugas menghidupkan lilin serta staf yang bertugas menerima lampion dari pengunjung untuk dihanyutkan di sungai. Hal ini dilajukan untuk menjaga agar tidak terjadi sesuatu ketika menghanyutkan lampion. Mengingat pengunjung terdiri dari anak-anak, orang dewasa, dan orang tua.
Selanjutnya lampion-lampion tersebut terus menuju hilir. Ritual Toro-nagashi ini adalah sebagai symbol menghantarkan roh leluhur kembali ke alamnya.
Panitia menyalakan lilin |
Panitia menerima lampion dari pengunjung dan menghanyutkanya. tampak mereka memberikan penghormatan terakhir. |
Dari Berbagai sumber
No comments:
Post a Comment