Sebagai
orang tua saya terkadang tidak sabar dan tidak berusaha memahami psikologi anak
pada saat dia melakukan hal-hal yang saya anggap tidak sesuai. Saya sering
memberikan penilaian dari sudut pandang orang dewasa. Saya lupa kalau anak saya
masih berusia 8 tahun, belum sepenuhnya bisa membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk, lebih suka bermain. Sehingga Saya sering memberikan teguran
(memarahi) bila dia melakukan sesuatu yang saya anggap salah. Misalnya, lupa
membawa pulang PR sekolah, tempat bekal (bento), dan perlengkapan sekolah
lainnya. Tetapi, tidak jarang juga setelah itu saya menyesal, dan meminta maaf
karena telah memberikan penilaian dengan standar orang dewasa. Saya teringat
dengan kata-kata guru Bahasa Indonesia di SMA dulu, “Saya menilai hasil ujian
siswa bukan dari sudut pandang seorang guru, tetapi dari sudut pandang seorang
siswa. Karena kalau saya menilai dari sudut pandang seorang guru, maka tidak ada
jawaban siswa yang benar. Semuanya pasti salah.” Oleh karena itu guru Bahasa Indonesia
tersebut tidak pernah memberi siswanya nilai di bawah standar. Sekarang saya
berusaha sebisa mungkin untuk bisa memahami psikologi anak sebelum memutuskan
untuk memarahi atau cukup memberikan teguran ringan.
Ada satu alasan kuat mengapa saya berbuat
demikian. Ini juga masih ada kaitannya dengan anak. Sejak anak kedua lahir dan
mulai bisa berjalan, suasana di dalam rumah sedikit berubah. Kalau biasanya
lebih sering terdengar suara tangisan, sekarang ditambah dengan suara tertawa
karena sudah bisa bermain. Kalau biasanya hanya bisa merangkak, sekarang sudah
mulai bisa berjalan bahkan berlari. Sehingga suara hentakan kaki mereka membuat
tetangga yang tinggal tepat di bawah kami merasa tidak nyaman. Kalau sudah
demikian, biasanya mereka memberikan peringatan dengan cara memukul lantai
kamar kami dari bawah.
Jauh sebelum itu, pernah sebuah kesalahan
kami lakukan. Pada waktu membersihkan beranda kamar, tiba-tiba brush pembersih
lantai jatuh ke halaman tentangga di bawah. Saya segera turun untuk meminta
maaf sekaligus ingin mengambil brush tersebut. Tetapi setelah saya bel dan
ketuk pintunya berkali-kali dan tidak ada jawaban, saya memutuskan kembali. Saya
mulai sadar ini adalah gaya hidup bertetangga di negara yang katanya sudah
sangat maju.
Puncaknya, terjadi beberapa bulan lalu. Saya melakukan
kembali sebuah kesalahan. Ketika akan membuang sampah, tiba-tiba botol saus
tomat yang sudah dipakai terjatuh ke halaman tetangga yang sama. Sepertinya kali
ini mereka benar-benar marah. Hal itu terlihat dari cara mereka memberikan
teguran. Mereka melemparkan kembali botol tersebut ke atas, yaitu ke beranda. Tetapi
ada yang menarik, botol tersebut tidak sendirian. Pada botol tersebut terikat
secarik kertas berisi beberapa peringatan keras. (1) Jangan menjatuhkan barang
ke bawah, (2) Jangan Ribut, (3) Tolong anak-anak diberi peringatan supaya tidak
membuat suara gaduh. Saya semakin sadar, gaya berkomunikasi masyarakat yang
sudah maju seperti ini.
Sejak saat itu saya mulai berusaha memahami
psikologi mereka. Karena saya sedang tinggal di daerah lain, maka saya harus
menyesuaikan diri dengan kebiasaan penduduk setempat. Kertas tersebut tidak
saya buang, tetapi saya temple di dinding, sehingga ketika anak-anak saya
bermain, tidak lupa saya ingatkan dengan cara menyuruhnya membaca isi kertas
tersebut. Alhamdulillah sangat efektif.
Dari
pengalaman tersebut saya mencoba menerka-nerka dan mencari jawaban, mengapa
gaya berkomunikasi mereka demikian. Kalau berpikir bahwa, karena saya orang
asing sudah barang tentu kebiasaanya berbeda, sudah pertanyaan di atas tidak
perlu dijawab. Tetapi saya yakin ada alasan mendasar yang menyebabkan pola
komunikasi mereka terbentuk seperti ini.
Salah satu unsur
yang berperan dalam pembangunan karakter manusia adalah pendidikan. Saya tidak
perlu menguraikan panjang lebar, apa manfaat pendidikan. Contoh sederhananya
saja, kalau tidak sekolah kita tidak akan bisa membaca dan menulis. Tetapi system
pendidikan yang tidak baik juga akan berdampak pada pengguna system tersebut.
Bukan berita
baru lagi, kalau di Jepang anak-anak sudah digembleng dan ditempa sejak dini. Sejak
SD Para orang tua sudah mengarahkan (Bahasa sopan dari memaksa) anak-anak
mereka, dan memberikan gambaran bahwa mereka harus belajar sungguh-sungguh agar
bisa melanjutkan masuk ke sekolah terbaik. Setelah pulang sekolah, mereka sudah
harus mengikuti les ini dan les itu. Akibatnya mereka tidak punya waktu untuk
bermain. Padahal dari bermain mereka akan mempelajari beberapa hal, diantaranya
adalah bagaimana cara berkomunikasi, bagaimana cara mengekspresikan apa yang
mereka rasakan, seperti rasa senang, rasa marah dan sebagainya. Bermain adalah
sarana untuk belajar bersosial dalam komunitas mereka.
Mengapa mereka
harus sudah banting tulang sejak dini ? Jawabannya adalah supaya bisa masuk
perguruan tinggi terbaik. Salah satunya adalah Universitas Tokyo. Untuk bisa
masuk Universitas Tokyo mereka harus bisa masuk SMP dan SMA terbaik terlebih
dahulu. Saya sering melihat murid-murid SMP keluar dari tempat les jam sepuluh
malam. Pulang ke rumah, mandi, lalu makan dan istirahat. Pagi-pagi mereka harus
bangun awal dan pergi ke sekolah. Begitulah gaya hidup mereka. Mereka hampir
tidak pernah bersentuhan dengan masyarakat.
Mengapa harus perguruan
tinggi terbaik ? karena hanya lulusan perguruan tinggi terbaiklah yang akan diterima
di perusahaan terbaik dan mendapatkan pekerjaan (layak). Ini ibarat setali tiga
uang antara perguruan tinggi dengan perusahaan. Perusahaan di Jepang akan
memilah-milah dan menempatkan pegawai mereka berdasarkan almamater. Bila si A
lulusan Universitas Tokyo, maka dia akan di tempatkan di posisi tertentu. Tetapi
bila si A lulusan universitas abal-abal (istilah lain dari universitas yang
tidak terkenal), maka dia akan di jadikan buruh kasar. Bahkan mereka
diperlakukan secara tidak adil. Ada yang mengatakan mereka diperlakukan seperti
layaknya seorang budak (cerita seorang teman yang tidak setuju dengan system seperti
itu).
Bukan rahasia
lagi kalau dunia kerja di Jepang dikenal dengan gakubatsu (klik akademis, adanya
kelompok yang berasal dari lulusan universitas yang sama). Maksudnya adalah di
perusahaan-perusahaan besar tersebar jaringan gakubatsu ini. Mereka hanya
menerima pegawai dari lulusan universitas tertentu saja. Misalnya, untuk PNS
pusat biasanya dikuasai oleh lulusan Universitas Tokyo. Lalu kemana mereka dari
lulusan universitas lain ? mereka terpaksa harus ke daerah. Akibatnya persaingan
untuk menjadi PNS di daerah menjadi sangat ketat. Bisa dibayangkan kemana
mereka yang lulusan universitas abal-abal tadi ? Sungguh kasihan melihat mereka,
sudah matian-matian belajar dan mengorbankan masa kecil, tetapi tidak bisa
masuk perguruan tinggi terbaik.
Bercerita mengenai
perguruan tinggi, ada hal yang menarik lainnya yang saya temui. Teman saya
mengatakan, orang Jepang masuk perguruan tinggi bukan untuk menuntut ilmu,
tetapi untuk mencari pekerjaan. Karena mahasiswa di Jepang sangat disibukkan
dengan kegiatan mencari pekerjaan. Umumnya mahasiswa sarjana (S1) hanya belajar
selama tiga tahun saja. Tahun ke empat mereka sudah mencari pekerjaan. Kegiatan
mencari pekerjaan ini dikenal dengan istilah shukatsu. Sehingga begitu tamat
mereka langsung bekerja. Di Jepang penerimaan pegawai atau karyawan perusahaan
dilakukan serentak. Begitu juga waktu awal bekerja, yaitu per 1 April. Lalu bagaimana
dengan mereka yang tidak bisa tamat tepat waktu ? tidak perlu khawatir, karena
hampir semua mahasiswa sarjana akan tamat tepat waktunya. Hal ini sangat
berbeda dengan di Indonesia. Seseorang baru bisa mencari pekerjaan setelah
tamat kuliah. Kemudian, tidak semua orang dengan mudah bisa tamat tepat waktu.
Bahkan ada yang mengatakan, sulitnya masuk perguruan tinggi tidak sesulit
keluar dari perguruan tinggi tersebut.
Nah, mengapa
pihak perusahaan bersedia menerima mereka yang belum tentu tamat pada waktunya,
dan pihak perguruan tinggi dengan mudah menamatkan mahasiswanya ? jawabannya
ada pada perjuangan seseorang hingga bisa masuk ke perguruan tinggi tersebut. Agaknya
ini semacam apresiasi terhadap hasil kerja keras mereka. Jadi, boleh dikatakan
masa mereka menuntu ilmu hanyalah hingga SMA saja. Begitu sudah masuk ke
perguruan tinggi (terbaik), masa depan mereka sudah ditentukan.
Maka tidaklah
heran apabila para orang tua di Jepang berusaha mati-matian agar anak mereka
bisa masuk ke perguruan terbaik, walau harus mengorbankan masa kecil dan remaja
mereka, yang berakibat kepada kurangnya kemampuan anak-anak mereka dalam
berkomunikasi dan bersosialisasi dalam masyarakat.
No comments:
Post a Comment